Jakarta, 5 Juni 2024 – Nexus3 Foundation dan Arnika Association menyelenggarakan konferensi internasional bertemakan “Promoting Transparent Pollution Control” pada tanggal 4-5 Juni untuk membahas pentingnya Pollution Release Transfer Register (PRTR) di Indonesia. PRTR adalah basis data lepasan dan transfer polutan dari industri ke lingkungan yang terbuka untuk publik. Keberadaan PRTR mendorong transparansi dan akuntabilitas industri dalam pengelolaan lingkungan, serta meningkatkan akses publik terhadap informasi cemaran.
Indonesia saat ini belum memiliki sistem PRTR meskipun sudah memiliki beberapa platform pelaporan digital yang dimiliki oleh beberapa direktorat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, pelaporan digital ini belum terintegrasi dan menganut keterbukaan data sebaik dengan sistem PRTR. Hal ini menyebabkan minimnya informasi tentang jenis dan jumlah polutan yang dilepaskan oleh industri, serta dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Untuk mengambil tindakan yang efektif, informasi yang jelas dan mudah dipahami diperlukan untuk publik, para ahli, dan pembuat kebijakan.
Jindřich Petrlík, Toxics Program Director – Arnika Association, menyampaikan bahwa perkembangan industri di Indonesia cukup pesat dan diiringi dengan minimnya akses informasi terkait polutan untuk publik. Harapannya, PRTR dapat menjadi solusi dengan menyediakan informasi yang andal, transparan, dan terupdate untuk setiap informasinya. Republik Ceko pun menghadapi tantangan serupa dalam hal transparansi informasi ini. Otoritas publik sebagai alat yang sangat kuat memainkan peran penting dalam memastikan aksesibilitas PRTR bagi seluruh masyarakat.
Di era digital ini, informasi dengan mudah diakses. Digital literasi memungkinkan kita untuk memverifikasi ulang data digital yang tersedia. Berpikir kritis terhadap isu lingkungan terkini sangatlah penting dan isu-isu ini berpotensi viral dengan cepat, sehingga kita dapat mengkonfirmasi ulang apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini disampaikan oleh Yuyun Ismawati, Co-founder dan Senior Advisor Nexus3 Foundation. Yuyun juga menegaskan bahwa perlu adanya urgensi yang tercetus (misalnya karena penyakit berbahaya yang tiba-tiba muncul) di masyarakat untuk merancang PRTR di Indonesia ini.
Urgensi PRTR merupakan hal yang penting, tidak hanya di negara berkembang seperti Indonesia namun juga di negara-negara lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Dasrul Chaniago, Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menyampaikan bahwa, “Bahan kimia itu kalau kita lalai menanganinya, kalau kita tidak tahu sifatnya, kalau kita tidak tahu racunnya, kalau kita tidak tahu bahayanya, kita akan salah menanganinya. Itu akan berdampak besar terhadap kesehatan manusia, akan membahayakan lingkungan dan makhluk hidup.”
Perbedaan PRTR dengan pelaporan digital yang ada di Indonesia terlihat dari prinsip Community’s Right-To-Know yang dianut oleh PRTR. Sebagai bentuk produk ratifikasi Konvensi Aarhus, PRTR memberikan masyarakat hak untuk mengakses informasi lingkungan. Konferensi internasional ini dibuat untuk mempertemukan sejumlah aktor yang akan bersinggungan dengan PRTR, jika sistem ini akan diwujudkan di masa depan, yakni pemerintah, industri, dan masyarakat sipil (LSM, akademisi, dan komunitas terdampak). Tidak hanya itu, konferensi ini juga menghadirkan pembicara dari empat negara yang telah berpengalaman dalam mengimplementasikan PRTR di negara mereka.
Global Framework on Chemical menjadi salah satu payung hukum berdirinya PRTR. Keterbukaan data pelaporan industri, terutama terkait lepasan bahan kimia, menjadi kunci mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Pelajaran berharga dari pencemaran dan kecelakaan industri sejak 1960-an mendorong langkah pencegahan proaktif. Transparansi emisi dan lepasan bahan kimia ke lingkungan sangat penting untuk diketahui masyarakat agar dapat mengambil langkah antisipasi tepat.
Ari Sugasri, Direktur Pengelolaan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan bahwa, “Pertemuan International Conference on Chemical Management (ICCM) ke-5 tahun 2023 di Bonn, Jerman, semua negara-negara ini menyepakati suatu kerangka kerjasama voluntary yang bersifat multi sektoral dan multi stakeholder yang bernama Global Framework on Chemicals (GCF). Ini juga salah satu komitmen bagaimana Indonesia saat ini mulai membatasi terkait peredaran dan masuknya B3 di Indonesia”.
Eduard Hlavatý, Ahli PRTR dari Kementerian Lingkungan Republik Ceko, turut hadir dan memberikan pengetahuan lebih terkait PRTR. Beliau memaparkan keuntungan apa saja yang didapat dari PRTR, “Saya punya Data, saya punya Power. Pengguna tidak perlu meminta data, membayarnya, atau mencarinya dengan cara yang rumit. Semua (data) tersedia di satu tempat secara optimal. Data yang komprehensif pun dapat disediakan melalui data terbuka”.
Industri juga menjadi key player untuk mempromosikan dan mengimplementasikan PRTR. Niko Safavi, CEO PT Mowilex Indonesia, berhasil membawa PT Mowilex Indonesia mendapatkan banyak penghargaan karena berbagai inovasi dan intervensi dalam ranah keberlanjutan dan pelestarian lingkungan. “Kami juga telah melakukan upaya untuk mengurangi emisi polutan dalam bentuk timbal dalam cat. Hal ini sebagian berkat Nexus3 yang laporan terdahulunya menunjukkan bahwa Mowilex bersama sebagian besar produsen di industri kami memproduksi cat bertimbal. Kami tidak lagi melakukan hal tersebut sejak Mei 2019…”. Pak Niko juga menjelaskan bahwa PRTR itu penting di mana pun karena tanpa transparansi, konsumen tidak dapat dipertanggungjawabkan atas pilihan yang salah. Selama transparansi diterapkan dan orang-orang diberikan pengetahuan untuk membedakan, mereka akan mampu membuat pilihan yang lebih baik di pasar.
Tidak hanya di Indonesia, pengalaman dari negara lain pun dipaparkan di konferensi ini. Salah satunya adalah Thailand yang juga menghadapi banyak pencemaran dari sektor Industri, seperti petrokimia. Penchom Saetang, EARTH Thailand, menceritakan bahwa PRTR sudah diinisiasi sejak tahun 2000, namun sempat gagal hingga akhirnya pada tahun 2013 JICA-PRTR Pilot Program diimplementasikan di Provinsi Rayong. Pada tahun 2017, perkembangan JICA-PRTR ini terus berlanjut dan berhasil mencakup dua provinsi lainnya.
Won Kim, Wonjin Institute of Occupational and Environmental Health, Korea Selatan, memaparkan bahwa meskipun pembuatan sistem PRTR merupakan langkah penting, hal itu tidaklah cukup. PRTR adalah persyaratan minimal yang harus dipatuhi perusahaan, bukan batas maksimal emisi. Sistem ini perlu dilengkapi dengan sistem pelengkap lainnya, mendorong perusahaan untuk menyusun rencana pengurangan emisi. Pemerintah pun perlu melakukan kajian dan pengawasan untuk memastikan kebenaran laporan perusahaan. Seluruh rencana dan laporan ini harus transparan dan terbuka untuk umum, memungkinkan masyarakat sipil dan komunitas lokal untuk memantau prosesnya. Sehingga masyarakat lokal, pemerintah, dan perusahaan mempunyai peran masing-masing dan ketiga aktor kunci tersebut dapat menjadi kekuatan yang kuat untuk membuat lingkungan menjadi lebih bersih.
Para akademisi juga diberikan kesempatan untuk memaparkan pandangan mereka, berdasarkan penelitian dan pengalaman mereka, terhadap potensi pembentukan PRTR di Indonesia. Salah satunya adalah Dr. Nadia Astriani dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran menekankan pentingnya transparansi data dalam mengidentifikasi pencemaran atau kerusakan lingkungan. Beliau mengemukakan bahwa penegak hukum seringkali hanya berpedoman pada regulasi yang ada, sementara hasil penelitian akademisi atau NGO menunjukkan adanya zat toksik yang belum tercantum. Hal ini menimbulkan “perang data dan informasi” dan mempersulit proses penegakan hukum.
Pernyataan Dr. Nadia juga didukung oleh perwakilan komunitas yang hadir. Mimi Surbakti dari Srikandi Lestari memperjuangkan hak masyarakat untuk lingkungan sehat di Pangkalan Susu yang terdampak pencemaran dari PLTU Pangkalan Susu. Ibu Mimi menyampaikan sulitnya mendapatkan informasi publik, seperti AMDAL dan informasi penyakit tertinggi di daerah tersebut, dari instansi naungan pemerintah. Butanya masyarakat akan data lingkungan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat Pangkalan Susu akan keseriusan pemerintah dalam melestarikan lingkungan mereka.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki peraturan tentang keterbukaan informasi publik, namun ciri khas PRTR itu adalah proaktif dari pemerintah. Hal ini merupakan tanggapan dari Dyah Paramita, Peneliti dari Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG) yang juga melihat PRTR dari sisi regulasi. Dyah juga mengatakan bahwa, “PRTR itu adalah ketika tanpa kita meminta data ke pemangku kebijakan, data sudah tersedia seharusnya”. Sektor industri juga memiliki manajemen pengelolaan limbahnya masing-masing. Namun, Bondan Andriyanu, Greenpeace Indonesia, merasa janggal dengan beberapa sektor industri yang masih merasa bahwa “data emisi merupakan rahasia dagang” sehingga tidak ada transparansi terkait hal tersebut. Hal inilah yang menjadi perhatian terkait keterbukaan data memang sangat perlu dilakukan.
***
Kontak Media:
Ola, Staf Komunikasi Nexus3 Foundation, ola@nexus3foundation.org, +62877700776609