Ekspansi Geothermal: Solusi Sesat, Sumber Petaka bagi Warga dan Lingkungan

Upaya pemerintah Indonesia yang terus menggenjot pengembangan sumber energi dari panas bumi menjadi petaka bagi warga dan lingkungan. Sampai sekarang, Kementerian ESDM telah menghasilkan peta 356 prospek tambang panas-bumi di jalur Cincin Api Indonesia yang justru rentan terhadap risiko kebencanaan. 64 (enampuluh-empat) di antaranya sedang dalam proses penambangan.

Seluruh pengembangan tambang panas bumi tersebut, selain tak melibatkan warga dalam seluruh proses penyusunan kebijakannya, juga secara mencolok terbukti berkali-kali telah menjadi “ladang kematian” bagi warga setempat maupun pekerja tambang panas bumi . Di atas paparan pada kenyataan tidak amannya pertambangan panas-bumi untuk pembangkitan listrik bagi manusia dan lingkungan di lingkaran wilayah pengaruh eksplorasi dan operasi proyek tambang panas-bumi, masyarakat Indonesia perlu tahu bahwa penambangan dan ekstraksi panas-bumi untuk menghasilkan daya listrik telah puluhan kali terbukti menyebabkan gempa picuan, bukan pada tingkat yang bisa diabaikan bahayanya, tetapi bahkan sampai skala kegempaan di atas 3.

Foto: Diar Matahari

Di Indonesia sendiri, JATAM telah memperingatkan lewat laporan hasil riset, dan respons cepat atas kejadian gempa, untuk mempertanyakan kaitan di antara kejadian-kejadian gempa di wilayah di sekitar proyek tambang panas-bumi kepada otoritas kegempaan dan Kementerian ESDM. Lembaga-lembaga yang paling bertanggung-jawab tersebut tidak sekalipun menjawab, apalagi melakukan penyelidikan sungguh-sungguh tentang risiko bahaya gempa, dan memproduksi laporan-laporan berkala sebagaimana layaknya tanggung-jawab regulator industri di hadapan konstitusi dan hukum yang berlaku.

Di Sorik Marapi, Mandailing Natal, selain mengancam sumber air, lahan persawahan, dan pemukiman penduduk, operasi PT SMGP telah menewaskan tujuh orang dan ratusan lainnya terpapar gas beracun H2S. Di Dieng, Wono Sobo, operasi PT GeoDipa telah menewaskan dua orang, dan puluhan lainnya keracunan gas H2S akibat kebocoran berulang. Sama sekali tidak ada pemindaian dan pemeriksaan seksama dari pihak Kementerian ESDM sebagai regulator industri panas-bumi, tentang akibat jangka panjang pada kesehatan manusia dari emisi gas-gas beracun termasuk H2S pada skala rendah. Sumber air, tanaman menahun seperti kemiri, kakao, durian, juga hortikultura termasuk buah-buahan dan sayur-sayuran, basis utama perekonomian warga, rusak daya reproduksinya.

Di Mataloko, Flores, operasi PT PLN Geothermal memicu tenggelamnya lahan persawahan, mencemari air, munculnya penyakit kulit, dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk.

Petaka serupa terjadi di banyak tempat, namun resistensi warga lokal terhadap proyek tambang panas-bumi justru dijawab dengan intimidasi dan pengerahan kekerasan negara-korporasi. Proteksi habis-habisan terhadap investor dan operator tambang panas-bumi untuk pembangkitan listrik menempuh segala cara untuk menakut-nakuti warga negara yang hidup di wilayah yang diduduki proyek tambang panas-bumi, termasuk kekerasan fisik, intimidasi, pelecehan, hingga kriminalisasi dialami warga Gunung Talang, Poco Leok, Sokoria, Mataloko, dan Wae Sano, Flores dan Dieng, Wonosobo, Padarincang, Banten, serta sejumlah daerah lainnya di Indonesia. Bahkan, tak jarang, warga lokal justru terpaksa mengungsi dari kampung-ruang hidupnya, sebagaimana terjadi di Desa Wapsalit, Pulau Buru, Maluku akibat pengeboran panas bumi oleh PT Ormat Geothermal.

Ironisnya, persekongkolan jahat dan kekerasan negara-korporasi itu, alih-alih dihentikan, justru terus digunakan dalam mempercepat pengembangan panas bumi di Indonesia.

Di Gunung Gede Pangrango, pemerintah dan PT Daya Mas Geopatra (anak usaha Sinar Mas) terus memaksa masuk, membuat konflik sosial antar warga, serta menggunakan tangan aparat negara untuk menakut-nakuti warga.

Foto: Diar Matahari

Hal serupa terjadi di Padarincang, Banten, PT Sintesa Banten Geothermal (Sintesa Group) menggunakan aparat kepolisian dan TNI untuk membuka akses masuk ke lokasi pengeboran panas bumi.

Padahal, perlawanan warga di Gunung Gede Pangrango dan Padarincang, serta seluruh wilayah di atas, hanya untuk memastikan terjaganya keutuhan air kehidupan dan menjamin keberlanjutan hutan, tanah-tani dan kehidupan mereka sendiri.

Namun, pemerintah sepenuhnya abai, industri tambang panas bumi pembangkit listrik seringkali terus mengandalkan kekerasan terorganisir untuk memaksa rakyat menerima kehadiran proyek. Hal ini memberikan konfirmasi bahwa “geruduk panas-bumi” yang sedang berkecamuk di kepulauan adalah investasi paksa.

Jaminan Hukum & Insentif

Investasi paksa tambang panas bumi di Indonesia, sesungguhnya tidak hanya sekadar mengandalkan kekerasan. Pemerintah, dengan seluruh kewenangannya, justru telah memberikan jaminan hukum dan segundang insentif untuk korporasi di satu sisi, dan melenyapkan hak veto serta membuka ruang kriminalisasi bagi warga di sisi lain.

Melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas-Bumi, pemerintah mengeluarkan industri tambang panas bumi dari kategori industri tambang. Siasat licik ini bertujuan agar dua-pertiga sasaran tambang panas bumi di kawasan hutan bisa dijadikan lahan investasi industri.

Foto: Diar Matahari

Pemerintah juga memberikan insentif fiskal berupa tax allowance yang mencakup kegiatan eksploitasi dan eksplorasi. Insentif tax allowance ini antara lain melalui pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari nilai investasi di dalam bentuk investment allowance. Penyusutan waktu pengembangan panas bumi yang sebelumnya membutuhkan 10 tahun dipercepat menjadi 5 tahun. Sehingga besaran yang bisa dikreditkan lebih besar.

Di saat yang sama, insentif dalam bentuk tax holiday berupa pengurangan PPh badan untuk bidang usaha pembangkit tenaga listrik berbasis EBT termasuk panas bumi juga disediakan pemerintah. Lalu, insentif berupa pajak dalam rangka impor atau PDRI yang mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, dan PPh 22 impor yang terutang atas barang modal untuk kegiatan usaha panas bumi.

Selain itu, kontrak pengusahaan panas bumi dimana pemerintah mendapatkan setoran sekitar 34% dari penerimaan bersih pengusaha panas bumi juga diberikan insentif berupa pajak penghasilan ditanggung pemerintah PPh DTP yang pemberiannya diatur melalui mekanisme subsidi pada APBN.

Sementara itu, warga dan ruang hidupnya yang terancam tambang panas bumi, justru diperhadapkan dengan ancaman kriminalisasi. Salah satunya melalui Pasal 46 dan 74 UU 21/2014. Pasal 46 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan panas bumi yang telah memegang Izin Pemanfaatan Langsung atau Izin Panas Bumi, dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. Sanksi atas pelanggaran pelarangan tersebut dikemukakan di Pasal 74. Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung terhadap pemegang Izin panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).

Situasi di atas, kekerasan negara-korporasi dan jaminan hukum serta insentif untuk industri tambang panas bumi, menempatkan rakyat dan lingkungan untuk memikul risiko sosial dan ekologis dari seluruh proses pengembangan panas bumi.

Untuk itu, kami menuntut:

  1. Menuntut Kementerian ESDM agar segera menghentikan dulu eksplorasi dan operasi dari proyek-proyek penambangan yang tengah berjalan dan cabut seluruh izin tambang panas bumi di seluruh Indonesia.
  2. Menuntut Kementerian ESDM agar segera lakukan evaluasi menyeluruh, atas seluruh kejahatan industri tambang panas bumi, serta membuka diri untuk audit publik menyeluruh serta penegakan hukum termasuk tanggung-jawab pemulihan kerusakan.
  3. Menuntut Kementerian ESDM, Berbagai asosiasi pertambangan termasuk pertambangan panas bumi, untuk berhenti melakukan pemasaran sosial dan operasi media untuk menyebar-luaskan citra bahwa tambang panas-bumi untuk pembangkitan listrik adalah baik, rendah karbon, aman bagi lingkungan, dan menyejahterakan bagi penduduk wilayah yang diduduki dan diganggu oleh operasi proyek tambang panas-bumi.
  4. Menuntut Kapolri dan Panglima TNI agar menertibkan seluruh anggotanya yang menjadi centeng korporasi industri tambang panas bumi, serta memberikan sanksi tegas bagi anggota TNI maupun POLRI yang selama ini terbukti dikerahkan untuk menerapkan teror kekerasan bagi warga yang menolak proyek tambang panas-bumi.
  5. Mendesak seluruh lembaga keuangan dan bank, mulai dari World Bank, ADB, KfW, serta organisasi-organisasi konservasi internasional yang justru telah ikut mendorong investasi tambang panas-bumi, agar mengakhiri dukungannya, dan menghentikan pendanaan pada proyek-poyek panas bumi di Indonesia.
  6. Membatalkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi yang secara resmi hendak menyesatkan warga-negara Indonesia dengan menyatakan bahwa industri ekstraksi panas-bumi untuk pembangkitan listrik tidak termasuk dalam kegiatan industri pertambangan.

Penolakan tegas dan penjagaan keselamatan kolektif warga di wilayah kerja tambang panas-bumi adalah aspirasi warga-negara yang tidak mungkin lagi diabaikan oleh para pengurus badan-badan negara, badan-badan pembiayaan keuangan multilateral maupun swasta, termasuk PT SMI sebagai badan pembiayaan di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang berperan kunci dan bertanggung-jawab penuh dalam perpipaan saluran dana untuk meneruskan petualangan investasi tambang panas bumi di Indonesia.

Narahubung:

  1. Ari, Warga Padarincang (0838 2197 7798)
  2. Gele, Warga Pasir Cina, Gunung Gede Pangrango (+62 838 1715 2704)
  3. Cece, Warga Gunung Putri, Gede Pangarango (+62 859-7186-3280)
  4. Tino, Warga Flores (+62 813-2023-2064)
  5. Maluku,
  6. Alfarhat, Juru Kampanye JATAM (+62 852-9830-6009)
  7. Tera, FMN (+62 878-8242-0773)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *