Organisasi Lingkungan Desak Investor Korea Tidak Terlibat dalam Proyek Ekspansi PLTU Suralaya

[stag_intro]Jakarta, 24 Oktober 2018 – Beberapa Organisasi Lingkungan di Indonesia mengirimkan surat terbuka kepada sejumlah pemodal asal Korea yang berinvestasi di pembangkit batubara di Indonesia, hari ini. Sejumlah pemodal Korea tersebut adalah Bank Ekspor Impor Korea (KEXIM), KDB Korea Development Bank (KDB Bank), Korea Trade Insurance Corporation (KSure). Selain itu surat juga dikirimkan kepada Kedutaan Besar Korea Selatan di Jakarta.[/stag_intro]

Surat terbuka tersebut meminta agar para investor tersebut tidak memberikan dukungan untuk mendanai pembangkit batubara baru di Suralaya (PLTU Jawa 9 dan 10), Banten. Pembiayaan untuk PLTU tersebut meningkatkan risiko dampak lingkungan dan ancaman kesehatan yang akan disebabkan oleh ekspansi batubara.

Data satelit menunjukkan bahwa polusi NOx sangat tinggi di daerah Suralaya yang penyebab utamanya adalah pembangkit batubara. Bukan hanya masyarakat setempat yang terkena dampak polusi udara. Pembangkit listrik Suralaya berjarak kurang dari 100 km dari Jabodetabek, kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara. Sejak November hingga April, angin membawa emisi tersebut ke Jabodetabek, memapar 30 juta penduduknya ke polusi udara berbahaya. “Ini adalah investasi yang buruk untuk perusahaan dan untuk rakyat Indonesia,” ujar Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Panel IPCC dalam pertemuan di Korea Selatan baru-baru ini juga merilis laporan tentang resiko kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius yang akan menyebabkan bencana iklim global. Kita hanya memiliki jeda waktu yang sempit untuk mencegahnya, untuk memastikan pada tahun 2050 penggunaan batubara di bawah 5%.

Pada 10 September 2018, produsen listrik independen Indonesia PT. Indo Raya Tenaga mencapai kesepakatan dengan Doosan Heavy Industries and Construction (Korea Selatan) dan PT Hutama Karya untuk membangun dua unit baru pembangkit listrik tenaga uap batubara Suralaya (dikenal sebagai PLTU Jawa 9 dan 10) yang berlokasi di Banten. Biaya konstruksi diperkirakan sebesar 1,9 triliun Won.

Proyek ini seharusnya tidak berjalan karena sejumlah alasan di atas, dan lembaga pembiayaan ekspor Korea Selatan, KEXIM, KDB dan K-Sure, mengambil risiko besar jika mereka memberikan dukungan pembiayaan tersebut. “Kami menulis surat ini untuk mendorong agar bank-bank dan lembaga pembiayaan lainnya tidak memberikan dukungan kepada proyek-proyek ini dan sebaliknya membiayai energi bersih dan terbarukan di negara kami, seperti tenaga solar dan angin”, tambah Didit Haryo.

Alasan lain yang membuat proyek ini memiliki tingkat risiko tinggi adalah melemahnya nilai rupiah sehingga membuat negara harus menahan atau menunda proyek-proyek yang berbahan baku impor termasuk PLTU. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah memperingatkan bahwa pemerintah akan menunda atau merestrukturisasi beberapa proyek pembangkit listrik strategis untuk mengurangi impor dan mendukung rupiah. Proyek ini terletak dalam sistem kelistrikan yang memiliki surplus sangat besar, sistem kelistrikan tidak akan mengalami masalah jika kedua pembangkit ini tidak dibangun dalam 5 tahun. “Kondisi ini jelas beresiko terhadap pembatalan proyek karena komponen impornya sampai 60-80 persen”, ujar Dwi Sawung, Manager Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI.

Di lain pihak, KEPCO (Korea Electric Power Corporation) telah berkomitmen untuk menangguhkan dukungannya pada proyek PLTU Cirebon 3 dalam tanya jawab dengan parlemen Korea pada tanggal 18 Oktober 2018. “Buah dari perjuangan masyarakat yang menolak kehadiran ekspansi PLTU Cirebon telah dapat dirasakan. Ini adalah keputusan cerdas dimana KEPCO melihat risiko yang nyata terhadap keterlambatan proyek dan kotornya polusi yang akan dihasilkan”, tambah Dwi Sawung yang mendampingi perjuangan masyarakat Cirebon dalam proses tuntutan hukum di pengadilan. “Keputusan KEPCO seharusnya juga dapat diikuti oleh para pemodal Korea lainnya, untuk tidak lagi memberikan dukungan terhadap proyek energi kotor pembangkit batubara apapun di Indonesia”, tegas Sawung.

Risiko kedua yang harus dianalisa secara cerdik bagi para pemodal adalah kelebihan kapasitas di jaringan Jawa-Bali. Perencanaan yang buruk oleh perusahaan listrik milik negara, PLN, dan korupsi yang mengakar pada proyek-proyek batu bara, telah menggiring PLN ke dalam permasalahan keuangan, dan membahayakan APBN. Nyatanya permintaan terhadap konsumsi listrik hanya berada di angka 6,9 persen bukan 8,3 persen seperti perkiraan awal. Statistik sementara pertumbuhan listrik hingga kuartal ketiga 2018 menunjukkan hal tersebut.

Perkiraan permintaan listrik PLN telah menyebabkan tingkat pemanfaatan untuk pembangkit listrik hanya 57,3 persen pada jaringan Jawa-Bali, yang hampir tidak layak. “Meskipun kontrak PPA antara perusahaan pembangkit dan PLN dijamin oleh Pemerintah Indonesia, tetapi kondisi keuangan negara tidak bisa dikorbankan secara terus menerus, khususnya bila kelebihan kapasitas ini terus membesar karena pertumbuhan pembangkit listrik baru yang tidak dibutuhkan oleh pasar”, tutup Didit.

Narahubung:

  • Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, 0813-1981-5456
  • Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional WALHI, 0815-6104-606
  • Rahma Shofiana, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia 0811-1461-674
  • Malik Diazin, Staf Media WALHI 0818-0813-1090

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *