JAKARTA, 4 Agustus 2022 – Sudah dua bulan sejak tim advokasi UU Minerba menyerahkan dokumen kesimpulan pada Jumat, 3 Juni 2022 lalu, Mahkamah Konstitusi belum juga memutuskan permohonan Judicial Review UU Minerba yang diajukan oleh warga. Padahal aturan ini terus menjadi teror bagi masyarakat yang hidup di lingkar tambang. Di sisi lain, perusahaan tambang yang merusak justru dimanjakan oleh kemudahan perizinan dan “fasilitas” pasal karet untuk kriminalisasi warga
Hari ini, Gerakan #BersihkanIndonesia menggelar protes berupa Instalasi Seni bertema Terpenjara dalam UU Minerba, yang merupakan gambaran betapa kejamnya UU Minerba bagi masyarakat. Aturan ini membuat warga tak bisa leluasa menyuarakan penolakan mereka atas kehadiran tambang di kampungnya. Instalasi ini menghadirkan sel penjara yang berdiri dengan sembilan pilar besi. Instalasi ini mengirimkan pesan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah harapan terakhir bagi perjuangan warga untuk mendapatkan keadilan hukum. Mengabaikan urgensi dari JR Minerba ini hanya akan menjadi penjara dan derita bagi warga serta kematian keadilan di negeri ini.
Judicial Review UU Minerba diajukan oleh WALHI, JATAM Kaltim, dan dua orang warga yang menjadi korban kriminalisasi Pasal 162 UU Minerba yakni Nurul Aini, seorang ibu rumah tangga dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi yang dilaporkan ke polisi karena memprotes keberadaan tambang emas Tumpang Pitu. Kehadiran tambang emas ini telah mengakibatkan banjir lumpur dan mengakibatkan krisis air bersih di desanya. Sedangkan Yaman, seorang warga pemohon lainnya, merupakan nelayan dari Desa Matras, Kabupaten Bangka Belitung yang dikriminalisasi bersama 12 nelayan lainnya ketika melindungi wilayah tangkapnya dari operasi tambang timah. Yaman dan para nelayan yang protes karena mengalami penurunan hasil tangkap justru dituduh merintangi dan mengganggu kapal isap pasir Indosiam Phuket 1 dan Sor Chokedee.
“Instalasi ini menggambarkan kondisi hari ini terkait UU Minerba. UU Minerba yang sudah ditetapkan 2 tahun yang lalu telah mengkriminalisasi 19 warga sipil yang mempertahankan lingkungan dan ruang hidupnya. Kami sudah menunggu Mahkamah Konstitusi 2 bulan lamanya terkait hasil putusan Judicial Review undang-undang karet ini. Instalasi ini menggambarkan bahwa siapapun bisa menjadi korban dari perusahaan yang mendapatkan kemudahan dan kepastian dari hukum dari pemerintah,” ujar Azka Wafi, juru bicara #BersihkanIndonesia dari Enter Nusantara.
Proses Judicial Review UU Minerba ini diajukan oleh masyarakat sebagai batu uji terakhir atas pemerintahan Jokowi yang dikuasai oleh oligarki. Hasil putusan judicial review UU Minerba sangat dinanti masyarakat karena akan menjadi tolok ukur independensi Mahkamah Konstitusi terhadap pemerintahan Jokowi. Apalagi saat ini, potensi terjadinya konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi semakin tinggi setelah Ketua Mahkamah Konstitusi resmi menjadi ipar Jokowi, yang merupakan salah satu tergugat pada permohonan Judicial Review UU Minerba ini.
“Masih dipertahankannya pasal kriminalisasi warga dalam UU Minerba 3/2020 pasal 162 semakin menegaskan bahwa UU ini memang dibuat hanya untuk memfasilitasi korporasi pertambangan melakukan perampasan ruang hidup warga. Sehingga setiap warga negara yang mempertahankan ruang hidupnya dari industri tambang hanya dihadapkan pada kriminalisasi, tanpa ada perlindungan dari negara untuk mempertahankan ruang hidupnya. Jika memang negara masih berpihak pada keselamatan dan ruang hidup warga, maka MK harus membatalkan atau menghilangkan pasal kriminalisasi dari UU Minerba ini,” ujar Ki Bagus Hadikusuma, juru bicara #BersihkanIndonesia dari JATAM Nasional
Selain menggugat Pasal 162, para pemohon juga menggugat Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba yang mempersulit masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka karena penarikan kewenangan yang tak lagi di daerah, namun hanya di pusat. Pasal ini akan membuat masyarakat yang hidup di sekitar tambang menghabiskan banyak biaya dan waktu tempuh yang lebih lama apabila hendak menyuarakan aspirasinya.